BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingkat
kesadaran masyarakat untuk hidup sehat masih sangat rendah. Tingginya angka
kematian itu menunjukkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan masih
kurang. Hal itu juga menunjukkan pelayanan kesehatan di Indonesia kurang
maksimal. Radang atau infeksi pada alat-alat genitaldapat timbul secara akut
dengan akibat meninggalnya penderita atau penyakit bisa sembuh sama sekali
tanpa bekas atau dapat meninggalkan bekas seperti penutupan lumen tuba.
Penyakit ini bisa juga menahun atau dari permulaan sudah menahun. Salah satu
dari infeksi tersebut adalah salpingitis.
Sebagian
besar wanita tidak menyadari bahwa dirinya menderita infeksi tersebut. Biasanya
sebagian besar wanita menyadari apabila infeksi telah menyebar dan menimbulkan
berbagai gejala yang mengganggu. Keterlabatan wanita memeriksakan dirinya
menyebabkan infeksi ini menyebar lebih luas dan akan sulit dalam penanganannya.
Penyakit Radang Panggul (Salpingitis,
PID, Pelvic Inflammatory Disease) adalah suatu peradangan pada tuba falopii (saluran menghubungkan
indung telur dengan rahim). Peradangan tuba falopii terutama terjadi pada
wanita yang secara seksuatif. Resiko tertama ditemukan pada wanita yang memakai
IUD. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa mampu memahami apa itu peradangan
pada alat genitalia wanita. Dan pada makalah ini penulis membahas mengenai
salpingitis.
B. Tujuan
1.
Tujuan
Umum
Setelah
dilakukan pembuatan makalah ini, mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan
yang dapat diberikan pada pasien dengan salpingitis
2.
Tujuan
Khusus
a)
Mengetahui
definisi, etiologi, factor resiko, patofisiolog salpingitis
b)
Mengetahui
penatalaksanaan salpingitis
c)
Mengetahui
Asuhan Keperawatan Pasien salpingitis
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
- Definisi
Salpingitis adalah terjadinya inflamasi pada tuba fallopi. Tuba fallopi perpanjangan dari uterus, salpingitis adalah salah satu penyebab umum terjadinya infertilitas pada wanita. Apabila salpingitis tidak ditangani dengan segera, maka infeksi ini akan menyebabkan kerusakan pada tuba fallopi secara permanen sehingga sel telur yang dikeluarkan dari ovarium tidak dapat bertemu dengan sperma. Tanpa penanganan yang cepat infeksi bisa terjadi secara permanen merusak tuba fallopi sehingga sel telur yang dikeluarkan pada proses menstruasi tidak bisa bertemu dengan sperma (Prawirohardjo,
2007).
Ada dua jenis dari salpingitis :
1. Salpingitis
akut : pada salpingitis akut, tuba fallopi menjadi merah dan bengkak, dan keluar
cairan berlebih sehingga bagian dalam dinding tuba sering menempel secara menyeluruh. Tuba bisa juga menempel pada bagian intestinal yang
terdekat.Kadang-kadang tuba fallopi penuh dengan pus. Hal yang jarang terjadi, tuba rupture dan menyebabkan infeksi yang sangat berbahaya pada kavum abdominal (Peritonitis).
2. Salpingitis Kronis : Biasa nyamengikuti gejala akut. Infeksi terjadi ringan, dalam waktu yang panjang dan tidak menunjukan banyak tanda dan gejala.
(Prawirohardjo,
2007).
Salpingitis
atau radang tuba fallopi merupakan bagian dari penyakit radang panggul atau
pelviksitis. Sejarah salpingitis (radang tuba fallopi) adalah yang tertinggi
terkait dengan relatif risiko ketidaksuburan. Kira-kira satu sampai tiga
perempuan menunjukkan hasil evaluasi ketidaksuburan yang memperlihatkan
tanda-tanda dan gejala bahwa masalah itu disebabkan berkenaan dgn kandungan
atau tuba fallopi yang abnormal. Tuba fallopi yang mengalami penyumbatan atau
menjadi rusak dapat mengurangi kesuburan dengan mencegah sperma mencapai telur
atau mencegah telur mencapai rahim.
Ketidaksuburan
pada tuba fallopi juga dapat timbul setelah terjadinya infeksi keguguran,
infeksi pada saat melahirkan anak, radang selaput perut atau operasi.
Kemandulan yang disebabkan oleh beberapa faktor-faktor ini sebagian dapat dicegah.
Ketidaksuburan pada tuba fallopi kadang-kadang dapat ditindak dengan melakukan
operasi, tetapi jika hal ini tidak memungkinkan, atau jika operasi ini gagal,
IVF (In Vitro Fertilisation) atau program bayi tabung mungkin merupakan sebuah
solusi. Operasi tuba fallopi merupakan prosedur yang melibatkan anestesi secara
umum dan seringkali berlangsung selama beberapa jam. Operasi biasanya dilakukan
dengan bantuan mikroskop. Keberhasilan dari operasi sekitar 45% kalau
masalahnya ada pada akhir saluran tuba, tetapi hanya 20-25% bila masalahnya
pada penyumbatan fimbrial di ujung saluran tuba fallopi, dekat dengan ovaries.
Salpingitis
akut dapat segera didiagnosis jika semua tanda dan gejala objektif terdapat dan
sesuai. Tetapi, sejumlah keadaan lain dapat menyerupai keseluruhan atau
sebagian spektrum manifestasi yang biasa ditemui. Adalah kesalahan serius
mendiagnosis selpingitis pada wanita yang sebenarnya tidak menderitanya. Hal
ini tidak hanya menempatkan wanita pada regimen terapi antibiotik yang lama dengan
resiko dan biayanya, terapi memperlambat penemuan diagnosis yang sebenarnya dan
penatalaksanaanya. Selain itu, dokter cenderung menganggap tiap gangguan pelvis
di masa mendatang disebabkan karena infeksi ini. Carilah riwayat pemaparan
penyakit menular seksual yang terjadi sekarang atau di masa lampau terutama
infeksi gonokokus atau klamidia, penyakit peradangan pelvis yang tercatat baik,
penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim atau infeksi pasca abortus atau pasca
persalinan.
- Insiden
Lebih
dari satu juta kasus salpingitis akut dilaporkan setiap tahun di AS, namun
jumlah insiden ini mungkin lebih besar, karena metode pelaporan tidak lengkap
dan terlalu dini dan bahwa banyak kasus dilaporkan pertama ketika penyakit itu
telah pergi begitu jauh bahwa mereka telah mengembangkan kronis komplikasi.
Bagi wanita berusia 16-25, salpingitis adalah infeksi serius yang paling
umum.Ini mempengaruhi sekitar 11% dari wanita usia reproduktif. Salpingitis
memiliki insiden yang lebih tinggi di antara anggota kelas-kelas sosial ekonomi
rendah. Namun, hal ini dianggap sebagai akibat dari debut seks sebelumnya,
beberapa mitra dan kemampuan rendah untuk menerima perawatan kesehatan yang
layak bukan karena faktor resiko independen untuk salpingitis. Sebagai akibat
dari peningkatan risiko karena beberapa mitra, prevalensi salpingitis tertinggi
untuk orang yang berusia 15-24 tahun. Penurunan kesadaran gejala dan kurang
kemauan untuk menggunakan alat kontrasepsi juga umum dalam kelompok ini,
meningkatkan terjadinya salpingitis.
Organisasi Kesehatan Dunia telah menerbitkan data tentang jumlah kasus tentang
gonore dan klamidia di seluruh dunia tahun 1995. Pada tahun itu, sekitar 31
juta kasus infeksi gonore dan 22,5 juta kasus infeksi clamydia, merupakan
organism penyebab utama salpingitis dan terjadi pada wanita di seluruh dunia.
Secara geografis sebagian besar kasus ini berada di Negara berkembang.
Prevalensi tertinggi berada di sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara, dengan
terendah di Asia Timur dan Pasifik. Selain itu, komplikasi penyakit menular
seksual, termasuk salpingitis lebih umum di Negara-negara dengan sumber daya
yang lebih miskin.
- Etiologi
Kondisi
ini tidak diketahui, kemungkinan penyebabnya adalah karena seperti proses pasca-inflamasi
distorsi dan adenomiosis (Green, 1989). Pemeriksaan
mikroskopis menunjukkan nodul tersebar kelenjar epitel tuba dikelilingi oleh area - area muskularis (Benjamin, 1989).
Pada hysterosalpingography, diagnosis mungkin bingung dengan endometriosis
tuba, bagaimanapun, adanya epitel tuba yang melapisi kelenjar pada aturan
pemeriksaan histopatologi yang keluar
adalah endometriosis (McComb, 1989). Majumdar (1983) mengatakan hiperplasia
endometrium kompleks
terlihat pada kasus dapat yang dikaitkan
dengan pengobatan hormonal yang
digunakan untuk infertilitas. Komplikasi
salpingitis isthmica nodosa adalah infertilitas dan berulang kehamilan ektopik
dan karenanya, salpingitis isthmica nodosa merupakan penyebab penting untuk
dikesampingkan dalam kasus tersebut (Chawla, 2009).
Salpingitis disebabkan oleh bakteri penginfeksi. Jenis-jenis bakteri yang biasanya menyebabkan Salpingitis : Mycoplasma,
staphylococcus, dan steptococus. Selain itu salpingitis bisa juga disebabkan penyakit menular seksual seperti gonorrhea, Chlamydia, infeksi puerperal dan postabortum. Kira-kira 10% infeksi disebabkan
oleh tuberculosis. Selanjutnya biasa timbul radang adneksa sebagai akibat tindakan
(keroksn, laparatomi, pemasangan IUD, dan sebagainya) dan perluasan radang dari
alat yang letaknya tidak jauh seperti appendiks (Prawirohardjo,
2007).
- Faktor Resiko
1. Usia
Angka usia spesifik
lebih tinggi pada remaja wanita anatar usia 15 sampai 19 tahun.
2. Jumlah pasanan seksual
Wanita dengan banyak pasangan 4,6 kali
cenderung lebih banyak terkena PID.
3. Pasien PID sebelumnya
Pasien dengan PID 2,5
kali cenderung lebih banyak memiliki riwayat PID sebelumnya dari pasien tanpa
PID.
4.
Remaja
Melakukan hubungan seksual pada usia muda
5. Gonore pria
Pria
yang tidak diobati merupakan sumber infeksi berulang dan infeksi baru.
6.
Faktor
sosioekonomi yang rendah
- Komplikasi
Di antara sebab-sebab yang paling banyak terdapat
ialah infeksi gonorea dan infeksi puerperal dan post abortum. Kira-kira 10%
infeksi disebabkan oleh teberkulosis. Selanjutnya bias timbul radang adneksa
sebagai akibat tindakan (kerokan, laparatomi, pemasangan IUD, dan sebagainya)
dan perluasan radang dari alat yang letaknya tidak jauh seperti appendiks.
Penanganan yang tidak serius, salpingitis bisa menyebabkan
beberapa komplikasi meliputi :
1.
Kehamilan ektopik.
2.
Infeksi yang terjadi didaerah
terdekat dengan tuba fallopi, seperti ovarium atau uterus.
3.
Infertilitas.
4.
Menginfeksi orang yang diajak
berhubungan seksual.
- Patofisiologi
G. Tanda dan Gejala
Ada pun tanda dan gejala dari salpingitis adalah :
1. Nyeri pada kedua sisi perut
2. Demam
3. Mual muntah
4. Kelainan pada vagina seperti perubahan warna yang tidak seperti orang normal atau berbau.
5. Nyeri selama ovulasi.
6. Sering kencing
8. Disminorhoe
9. Nyeri
Abdomen : nyeri andomen bagian bawah merupakan gejala yang paling dapat
dipercaya dari infeksi pelvis akut. Pada mulanya rasa nyeri unilateral,
bilateral, atau suprapubik, dan sering berkembang sewaktu atau segera setelah
suatu periode menstruasi. Keparahan meningkat secara bertahap setelah beberapa
jam sampai beberapa hari, rasa nyeri cenderung menetap, bilateral pada abdomen
bagian bawah, dan semakin berat dengan adanya pergerakan
10. Perdarahan
pervaginam atau sekret vagina : perdarahan antar menstruasi atau meningkatnya
aliran menstruasi atau kedua-duanya dapat merupakan akibat langsung dari
endometritis atau pengaruh tidak langsung dari perubahan – perubahan hormonal
yang berkaitan dengan ooforitis. Sekret vagina dapat disebabkan oleh
servitis.
11. Gejala –
gejala penyerta : menggigil dan demam lazim ditemukan. Anoreksia, nausea dan
vomitus berkaitan dengan iritasi peritoneum. Disuria dan sering kencing
menunjukkan adanya keterkaitan dengan uretritis dan sistitis. Nyeri bahu atau
nyeri kuadrak kanan atas mungkin merupakan gejala dari peripheral gonokokus.
12. Riwayat
menstruasi : menstruasi dapat meningkat dalam jumlah dan lamanya, salpingitis
dapat menjadi simptomatik pada hari keempat atau kelima dari siklus menstruasi.
(Prawirohardjo,
2007).
H. Tes Diagnostik
a)
Pemeriksaan
umum
1.Suhu biasanya meningkat
2.Tekanan darah normal
3.Denyut nadi cepat
b)
Pemeriksaan
abdomen
1.Nyeri perut bawah
2.Nyeri lepas
3.Rigiditas otot
4.Bising usus menurun
5.Distensi abdomen
c)
Pemeriksaan
inspekulo
Tampak sekret purulen di
ostium serviks
d)
Pemeriksaan
laboratorium
Leukosit
cenderung meningkat.
Pemeriksaan
fisik harus dilakukan secara cermat untuk membantu membedakan diantara beberapa
keadaan yang berbeda yang diwakili oleh gambaran klinis. Tentukan dengan
pemeriksaan abdomen apakah terdapat tanda-tanda peritonitis, termasuk difans
muskular (infoluntary guarding), nyeri langsung, nyeri alih, dan nyeri lepas,
tanda psoas yang positif, dan nyeri pada sudut kostovertebral. Lakukan
pemeriksaan pelvis yang cermat dan hati-hati, termasuk pemeriksaan bimanual
palpasi rektal dan vaginal, carilah informasi untuk mendapatkan lokasi yang
tepat dan sifat proses penyakit, catatlah adanya rasa sakit pada palpasi juga
dengan menggerakkam serviks ke satu sisi atau sisi lainnya. Tentukan adanya
massa atau penebalan adneksa. Jika ditemukan massa dan konfirmasikan melalui
pemeriksaan ultrasonografi, pasien harus diperiksa untuk abses tubo-ovarium dan
ditangani dengan tepat.
Lakukan
usaha untuk menunjukkan penyebab nyeri pelvis tentukan apakah polanya rekuren,
progresif dan berhubungan dengan menstruasi, misalnya, sebagai kemungkinan
tanda endometriosis, atau akut, intermiten dan disertai dengan nyeri pinggang
dan disuria, yang menggambarkan pielitis, atau urolitiasis. Mungkin sulit untuk
membedakan pielonefritis dari salpingitis karena dapat terjadi iritasi uriter
jika tuba yang mengalami inflamasi terletak (atau menempel) pada tepi posterior
ligamentum latum dimana menyilang uriter. Carilah penjelasan laboratories
dengan melakukan sekurangnya hitung darah lengkap, hitung diferensial, laju
endap darah, dan urinalisis. Ingatlah bahwa beberapa proses peradangan
noninfeksius, seperti nekrosis jaringan avaskular yang berhubungan dengan
torsio atau infark adneksa, dapat menyebabkan efek sistemik yang diketahui dari
likositosis, pergeseran hitung diferensial, dan peningkatan laju endap darah.
Ingatlah juga bahwa petanda laboratorium untuk infeksi dapat timbul lebih
lambat pada kasus salpingitis; petanda tersebut dapat timbul beberapa jam
setelah gejala klinis (bahkan beberapa hari), sehingga memberikan banyak
keraguan. Konsentrasi serum C-protein fase akut seringkali sangat menolong
dalam keadaan ini. Perubahan menstruasi, tanda-tanda yang mengarahkan pada
kehamilan, nyeri bahu, atau tenesmus memerlukan pertimbangan yang serius adanya
kehamilan ektopik. Lakukan tes kehamilan, lebih disukai pengukuran human chronic gonadotropin (hCG)
subunit-beta, dan pemeriksaan ultrasonografi jelas diperlukan pada keadaan ini.
I. Pengobatan
Perawatan penyakit salpingitis dilakukan dengan pemberian antibiotic (sesering mungkin sampai beberapa minggu). Antibiotik dipilih sesuai dengan mikroorganismenya yang menginfeksi. Pasangan yang diajak hubungan seksual harus dievaluasi, disekrining dan bila perlu dirawat, untuk mencegah komplikasi sebaiknya tidak melakukan hubungan seksual selama masih menjalani perawatan untuk mencegah terjadinya infeksi kembali. Perawatan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Antibiotik untuk menghilangkan infeksi, dengan tingkat keberhasilan 85% dari kasus.
2. Perawatan di rumah sakit memberikan obat antibiotic melalui intravena (infuse).
3. Pembedahan dilakukan jika pengobatan dengan antibiotic menyebabkan terjadinya resistan pada bakteri (Prawirohardjo,
2007).
4. Berobat jalan
Jika keadaan umum baik,
tidak demam. Berikan antibiotic : Cefotaksitim 2 gr IM atau amoksisilin 3 gr
peroral atau ampisilin 3,5 per os atau prokain ampisilin G dalam aqua 4,8 juta
unit IM pada 2 tempat. Masing-masing disertai dengan pemberian probenesid 1gr
per os, diikuti dengan dekoksisiklin 100 mg per os dua kali sehari selama 10-14
hari serta tetrasiklin 500 mg per os 4 kali sehari (dekoksisilin dan
tetrasiklin tidak digunakan untuk ibu hamil).
5.
Tirah
baring
Kunjungan ulang 2-3 hari
atau jika keadaan memburuk.
6.
Rawat
inap : Jika terdapat keadaan-keadaan yang mengancam jiwa ibu.
Untuk
menekan kerusakan permanen pada anatomi dan fungsi tuba, pasien dengan
salpingitis akut harus diterapi secepat mungkin dan agresif dengan regimen
antibiotika yang sesuai. Lakukan kultur terlebih dahulu, tetapi ketahuilah
terdapat korelasi yang buruk antara organisme yang ditemukan dari kultur
serviks dan yang terdapat serta aktif di dalam tuba. Salpingitis seringkali
ditemukan berkaitan dengan organisme polimikroba aerobik dan anaerobik,
kemungkinan sebagai patogen sekunder. Pemilihan antibiotik harus melihat hal
tersebut. Diskusikan kemungkinan masalah yang terjadi di masa mendatang seperti
infertilitas, kehamilan ektopik, nyeri pelvis kronis, rekurensi, dan pembentukan
abses dengan tujuan memberitahukan pasien bahwa ia sangat berperan mengenai
keadaannya dan prognosisnya. Dengan cara ini, pasien dapat melakukan tindakan
untuk menghindarkan infeksi ulang dan mengetahui serta sadar tentang
kemungkinan komplikasi.
Pasien yang
menderita salpingitis periodik akhirnya akan timbul kerusakan juga yang tidak
dapat diperbaiki lagi dengan penutupan bagian distal dan proksimalnya, sehingga
menyebabkan hidrosalping, piosalping, atau abses tubo-ovarium. Pasien perlu
diberitahu mengenai keuntungan abstinensia seksual sebagai cara untuk membantu
mengoptimalkan penyembuhan atau penggunaan kontrasepsi barier untuk menekan
resiko infeksi ulang. Nyeri pelvis yang kronis terutama jika disertai dengan
piosalping rekuren, memerlukan intervensi bedah untuk mengangkat organ yang
rusak. Waktu yang terbaik untuk pembedahan adalah saat proses inflamasi
menghilang secara maksimal di antara rekurensi.
J. Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian Keperawatan
a)
Pemeriksaan Fisik
1)
Pemeriksaan Umum : suhu biasanya meningkat, sering sampai 1200
F atau 1030 F. tekanan darah biasanya normal. Walaupun denyut nadi
seringkali cepat. Pada saat itu, pasien berjalan kedalam ruang gawat darurat
dengan postur tubuh membungkuk.
2)
Pemeriksaan Abdomen : nyeri maksimum pada kedua kuadran bawah. Nyeri
lepas, ragiditas otot, defance muscular, bising usus menurun dan distensi
merupakan tanda peradangan peritoneura. Nyeri tekan pada hepar dapat diamati
pada 30% pasien.
3)
Pemeriksaan Pelvis : sering sulit dan tidak memuaskan karena pasien
merasa tidak nyaman dan rigiditas abdomen. Pada pemeriksaan dengan speculum,
sekret purulen akan terlihat keluar dari ostium oretri. Serviks sangat nyeri
bila digerakkan. Uterus ukurannya normal, nyeri (terutama bila digerakkan) dan
sering terfiksir pada posisinya. Adneksa bilateral sangat nyeri. Masa definitis
jarang terpalpasi kecuali telah terbentuk piosalping atau abses tubaovarium
b)
Tes Laboraturium
1)
Hitung darah lengkap dan apusan darah : hitung leukosit cenderung meningkat
dan dapat sampai 20.000 dengan penignkatan leukosit polimorfonuklear dan
peningkatan rasio bentuk batang dengan segmen. Kadar hemoglobin dan hemokrit
biasanya dalam batas – batas normal. Peningkatan kadarnya berkaitan dengan
dehidrasis.
2)
Urinalisis biasanya normal
3)
Data diagnosis tambahan yang dapat dilakukan
Pewarnaan gram endoserviks dan biakan :
diplokokus gram-negatif intraseluler pada asupan pewarnaan gram baik dari
cairan serviks ataupun suatu AKDR sengan pasien dengan salpingitis simptomatok
merupakan penyokokng adanya infeksi neisseria yang memerlukan pengobatan.
Biakan bakteriologi diperlukan untuk identifikasi positif neisseria
gonorrhoeae. Laparoskopi untuk melihat langsung gambaran tuba fallopi.
Pemeriksaan ini invasive sehingga bukan merupakan pemeriksaan rutin. Untuk
mendiagnosis penyakit infeksi pelvis, bila antibiotic yang diberikan selama 48
jam tak member respon, maka dapat digunakan sebagai tindakan operatif.
- Diagnosa Keperawatan
- Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan / mengingat, kesalahan interpretasi, tidak menganal sumber-sumber
- Nyeri berhubungan dengan trauma mekanis, edema / pembesaran jaringan atau distensi, efek-efek hormonal
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri pada proses infeksi
- Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan dan ketidaknyamanan fisik
- Cemas
berhubungan dengan proses pengobatan
BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanSalphingitis adalah inflamasi pada uterus, tuba fallopi, dan ovarium yang mengarah ke perlukaan dengan perlengketan pada jaringan dan organ sekitar. Yang disebabkan oleh wanita dengan IUD asimptomatik, nyeri abdominal kuadran bawah, dispareunia, perdarahan vagina abnormal, dan vaginal discharge.Langkah pertama yang dilakukan ialah sediakan analgesic, bila pasien menggunaan IUD maka harus dihentikan. Dengan catata pasien dapat mencegah kehamilan meski tanpa alat kontrasepsi minimal 7 hari, dan segera rujuk ke bagian genitourinaria, untuk pasien dengan riwayat STD agar menjalani skrining dan terapi untuk pasangan seksual pasien.B. SaranKejadian salpingitis sangat menbahayakan bagi wanita karena dapat menyebabkan kehamilan ektopik. Untuk itu diharapkan pada wanita untuk menjga kesehatan terutama organ reproduksinya yang rentan terhadap kejadian infeksi dan melakukan pemeriksaan secara dini kepada tenaga kesehatan agar apabila terjadi infeksi terutama salpingitis dapat segera diatasi.Tenaga kesehatan berupaya untuk memberikan penyuluhan atau pendidikan khususnya kesehatan reproduksi pada wanita dan pemerintah mampu memberikan kebijakan – kebijakan yang mendukung terhadap pemeliharaan kesehatan.DAFTAR PUSTAKABenjamin CL, Beaver DC. Pathogenesis of salpingitis isthmica nodosa. Am J Clin Pathol 1951;21:212- 22.Chawla, Nitin. et all. 2009. Salpingitis isthmica nodosa. Indian Journal of Pathology and Microbiology – 52(3).Cunningham, F.G., Gant, N.F., Gilstrap III, L.C., Hauth, J.C & Wanstrom, K.D. (2004). Obstetriwilliams (edisi ke-21). Jakarta : EGC.Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC.Doenges, Marilynn E and Marry Franches Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal atau Bayi Pedoman untuk Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Jakarta: EGC.Green LK, Kott ML. 1989. Histopathologic findings in ectopic tubal pregnancy. Int J Gynecol Pathol;8:255-62.Hanifa, Winkosastro. 2002. Ilmu Kebidanan YBP-SP Edisi ketiga cetakan ke enam. Jakarta : FKUIMajumdar B,Henderson PH, Semple E. Salpingitis isthmica nodosa: A high risk for tubal pregnancy. Obstet Gynecol Surv;62:73-8.McComb PF, Rowe TC. Salpingitis isthmica nodosa: Evidence it is a progressive disease. Fertil Steril 1989;51:542-5.Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo